2009/07/04

Diskusi Cipayung


Catatan dari Diskusi Kelompok Cipayung
Bahas Soal Peran Kaum Muda Jelang Pilpres hingga Sepakati Membuat Buku

By. Hendrikus Adam*

Tantangan dan Aktualisasi Peran Kaum Muda dalam menghadapi dinamika pelaksanaan pesta demokrasi menjadi thema pelaksanaan diskusi yang digelar kelompok Cipayung bertempat di Aula Pertemuan Tribune Institute Jumat malam beberapa waktu lalu. Kegiatan yang baru dimulai pukul 20.00 wib ini dihadiri berbagai element perwakilan organisasi kaum muda.

PMKRI Pontianak, HMI Cabang Pontianak, GMKI, GMNI dan PMII merupakan bagian dari elemen penyelenggara yang tergabung dalam kelompok Cipayung tersebut. Berdasarkan catatan sejarahnya, kelompok Cipayung mulai digagas tahun 1970 namun baru dinyatakan berdiri tahun 1972 oleh keempat perwakilan organisasi kemahasiswaan saat itu yakni PMKRI, HMI, GMKI dan GMNI bertempat di Cipayung, Jawa Barat. Indonesia yang di cita-citakan, menjadi tajuk aktual para pendiri Cipayung saat itu dalam sebuah diskusi yang akhirnya melahirkan wadah ini. Dua tahun kemudian, PMII menyatakan diri bergabung sebagai bagian dari kelompok CIPAYUNG.

Diskusi yang dilangsungkan dengan menghadirkan Drs. Paulus Florus, mantan aktivis mahasiswa dan juga kenal sebagai motivator dan fasiitator bila melihat kebelakang, maka upaya-upaya ini pula menjadi proses yang saat itu pula dilakukan oleh para pmakarsa lahirnya Cipayung. Diskusi yang dilakukan merupakan bagian dari rangkaian kritis yang baik untuk menganalisis dinamika yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dalam sisitem ketata negaraan saat ini khususnya terkait dengan peran kaum muda dalam menyikapi dinamika perhelatan pesta demokrasi yang akan segera diadakan pada 8 Juli mendatang.

Mengawali paparannya, Paulus Plorus yang juga Ketua CRID (Center For Research and Inter-Religius Dialogue (CRID)/pusat penelitian dan dialog antar agama) menyampaikan salah satu kekhasan kaum muda yakni memiliki visi kedepan karena kaum muda adalah pemilik masa depan. Perubahan yang terjadi dalam catatan sejarah selalu dimulai dari kaum muda. Dalam dinamika pemilu seringkali diwarnai dengan intrik-intrik busuk dengan menghalalkan segala cara.

Dikatakan Paulus Florus, peran dan tantangan yang dihadapi kaum muda sedikitnya ada dua hal yakni peran-tantangan terhadap diri sendiri dan peran-tantangan dalam hubungannya dengan orang lain. Bagaimana menyikapi dinamika yang ada? ”Kaum muda hendaknya dapat mengambil dan menanfaatkan kesempatan ini sebagai sarana belajar untuk memperoleh sikap kritis dan bermoral. Sarana untuk belajar karakter kita dalam hal memahami pengetian politik yang benar. Karena kepentingan kekuasaan kebanyakan cenderung meruntuhkan moral orang. Menolak politik uang salah satunya menjadi tantangan berat. Siapkah anda menaklukkannya kedepan?” tanyanya.

Disampaikan narasumber, peran kaum muda juga sebagai kontrol sosial. Hal yang juga penting menjadi tanggungjawab bersama yakni menjaga perdamaian. Paulus Florus dalam paparannya juga tidak menapik adanya upaya politisasi agama yang muncul dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Kasus yang terjadi di Medan menjadi salah satunya. ”Kaum intelektual harus melihatnya dengan cara yang berbeda. Apapun realitas yang ada saat ii, sebagai kaum intelektual harus menyuarakan suara kenabian yakni pesan-pesan moral. Suara kenabian harus tetap dikumandangkan,” tegasnya.

Bergesernya Orientasi Gerakan?
Eksistensi kaum muda sebagai bagian dari anak negeri sejatinya tidak dapat dikesampingkan. Berbagai catatan dan pengalaman sejarah masa lalu membuktikan betapa besarnya peran kaum muda dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa silam. Terakhir di tahun 1998 saat digaungkannya era reformasi dengan ditandai jatuhnya rezim Orba dibawah kepemimpinan HM. Soeharto adalah bagian dari catatan sejarah dari peran kaum muda khususnya kalangan terpelajar (mahasiswa). Lantas bagaimana sekarang?

Gerakan mahasiswa dewasa ini terkesan mati suri. Terjadinya pergeseran orientasi gerakan kaum muda dimana gerakan mahasiswa tidak menemukan bentuknya seperti dulu. Pernyataan ini disampaikan Erwis, Ketua HMI Cabang Pontianak.

Juhari, sekretaris GMNI Pontianak mengungkapkan sekritis apapun pemuda tetap saja terbentur dengan budaya dan materi. Ia mengusulkan agar kelompok Cipayung mencoba mengawal para anggota legislatif yang pernah menjadi aktivis dengan mengajak untuk berdiskusi dalam rangka menjaga idealisme. Pernyataan Juhari sebagai bentuk jawaban menyusul adanya kecenderungan selama ini yang terjadi pada kalangan dewan yang berlatar belakang aktivis yang untuk kemudian setelah terpilih seakan melupakan idealismenya dan terlarut bersama sistem.

Dalam sisi yang lain, aktivis PMKRI, Lidya Natalia Sartono menyampaikan persoalan seputar pemilu terkait minimnya partisipasi anak-anak daerah yang menuntut ilmu di kota untuk memberikan hak suara dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Mahasiswa asal Kapuas Hulu ini mencontohkan dirinya bersama rekan-rekannya yang jauh dari kampung terpisahkan oleh jarak sehingga sangat memungkinkan untuk anak-anak daerah untuk lebih memilih tidak menggunakan hak pilih ketimbang harus pulang dengan biaya yang besar. ”Pada pemilu lalu, kita dapat melihat banyaknya orang-orang yang gagal dan stress karena kurang siap,” jelasnya mencontohkan buruknya dampak pesta demokrasi bagi mereka yang kurang siap bertanding.

Kesulitan pemberian suara untuk sebuah pemilu juga terlontar dari Dahlia, aktivis Koalisi Perempuan Indonesia. Mahasiswi yang juga dari Kapuas Hulu ini mengaku tidak akan memberikan suara pada perhelatan dengan cara ia harus kembali ke kampung halaman dengan jarak yang telah dibayangkan jauhnya.

Atas kondisi ini, Adi Cahyono dari Pengurus Daerah KNPI Kalbar yang hadir dalam kegiatan Kelompok Cipayung tersebut menegaskan dalam perhelatan demokrasi memunculkan pilihan-pilihan yang pada akhirnya mengeluarkan kost. Ia mengingatkan agar kaum muda dapat menggunakan hak pilih. Dikatakan pemuda diharapkan dapat mengawasi dan menjaga indikasi kecurangan. Menurutnya masih ada waktu untuk mengorganisir pemilih dari kalangan mahasiswa untuk dapat memiliki hak pilih. ”Demokrasi yang sedang berjalan jangan sampai menjadi momok. Berikan sosialisasi, kita harus positif thinking kalau kita mulai mengarah ke hal yang lebih baik,” jelasnya.

Zulkarnaen, Ketua Badan Pengurus Cabang GMKI menilai dalam kaitannya dengan aturan main kehidupan bernegara, konstitusi telah banyak mengatur dengan jelas. Adanya kecenderung pembelajaran politik yang kurang mendidik masih juga muncul. ”Ambil saja uangnya, tapi jangan pilih orangnya. Pernyataan ini kurang baik bagi pembelajaran politik bagi warga. Yang baik adalah, jangan ambil uangnya dan jangan pula dipilih,” jelas Zulkarnaen.

Tetap Optimis
Dalam dinamika sesulit apapun, harapan untuk lebih baik penting dimiliki kaum muda harapan masa kini dan masa depan negeri ini. Realitas yang terjadi saat ini menuntut setiap orang untuk menjalaninya.

Katua Badko HMI Kalbar, Ridwansyah menilai pentingnya rasa optimis. Dengan kondisi saat ini, dirinya merasa yakin tetap optimis. ”Mari kita buat budaya baru dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu,” ajaknya.

Warisan masa lalu
Dinamika politik hari ini menguras banyak hal. Gregorius Rigen, aktivis PMKRI menilai hal tersebut tidak terlepas dari warisan politik masa lalu dimana politik adu domba ”devide et invera” untuk memecah belah masih mewarnai konstalasi dinamika yang berkembang saat ini.

Kondisi ini juga diperparah dengan sistem ketatanegaraan yang berliku-liku dalam. Sehingga Hendrikus Hen yang juga aktivis PMKRI menilai perlu adanya perubahan sistem dalam menghadapi dinamika dan persoalan yang ada. ”Setiap kita tentu selalu berharap adanya sistem ketatanegaraan yang sempurna. Untuk merubah sistem, maka kita harus masuk dalam sistem itu,” jelasnya.

Terkait dengan perubahan sistem, Paulus Florus mengungkapkan keberadaan mahasiswa tidak mempunyai kuasa lebih untuk merubah sistem. ”Untuk melakukan kontrol atas pihak lain itu diluar kuasa kita. Yang bisa dilakukan dalam kuasa diri Anda adalah mengontrol diri sendiri. Sistem dan moral, keduanya sangat penting,” jelasnya menanggapi.

Dari beberapa catatan diatas, penulis memandang sekecil apapun peran dan keterlibatan kaum muda menjadi kebutuhan mendesak yang perlu diaktualisasikan kearah yang positif. NKRI dalam hal ini menjadi harga mati yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Sementara berbagai dinamika yang terjadi sejatinya dapat dicermati dengan kritis tanpa harus menyinggung perasaan setiap orang yang berbeda latar dengan kita. Saatnya kaum muda bicara tentang ”KITA” bukan mereka, saya, kamu, dia dan yang lain. Kelompok Cipayung dan kaum muda lainnya harus tetap mampu menampakkan jati dirinya dengan gaya dan cara yang berbeda dalam memberikan respon terhadap dinamika yang terjadi. Membuka diri, komunitas dan atau perkumpulan bagi akan menjadi jalan yang terbuka untuk dapat saling memahami didalam keberagaman.

Sepakat Lahirkan Buku
Menyadari diri sebagai bagian dari kaum intelektual, warga terpelajar, mengharuskan setiap orang untuk dapat melakukan sesuatu yang bermakna. Hal ini pula menjadi tantangan yang harus dijawab kaum muda sebagai bagian dari warga terpelajar.

Melalui diskusi yang alot dalam dinamika yang plural, diawali diskusi kecil sebelumnya, OKP yang tergabung dalam Kelompok Cipayung bersepakat untuk menerbitkan buku dalam waktu dekat. Upaya ini sebagai bagian langkah kongkrit yang tidak mustahil dilakukan untuk berkreasi dalam bentuk pengungkapan ide-ide dalam sebuah tulisan untuk kemudian dirangkum dalam sebuah buku. Kelompok Cipayung melahirkan kesepakatan pentingnya melakukan kajian-kajian kritis secara interns mengenai persoalan-persoalan sosial yang senantiasa mewarnai dinamika kehidupan sosial. Terima kasih semuanya, terima kasih Tribune Institute.


*) Ketua Presidium PMKRI Pontianak.


.

0 Comments: