2010/03/12

Seruan Thomas More



Selamat atas terpilihnya Lidya Natalia Sartono sebagai Ketua PMKRI Pontianak yang baru.

Memorandum Kemasyarakatan
PERHIMPUNAN MAHASISWA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA (PMKRI)
SANTO THOMAS MORE CABANG PONTIANAK


Perkembangan IPTEK yang mengglobal tidak biasa dihindari dalam kehidupan dengan sejumlah konsekuensi logisnya sebagai dampak yang kemudian membawa persoalan dimasyarakat. Kompleksnya persoalan terkait perkembangan IPTEK perlu mendapat perhatian bersama segenap komponen bangsa. Demikian halnya dengan kondisi tersebut, peran penting pengambil kebijakan (Pemerintah) diharapkan dapat melakukan langkah-langkah proteksi maupun perlindungan secara komperhensif terkait dengan berbagai ekses destruktif dari sebuah dampak produk global terhadap kondisi masyarakat. Hadirnya pemerintah sebagai “pelayan” yang mestinya sungguh berjuang untuk kepentingan masyarakat. Namun faktanya, kesenjangan antara teori dan praktek seringkali tidak berkesinambungan adalah persoalan serius yang mestinya mendapat perhatian.

Keterbukaan dan kebebasan akses informasi selalu dijadikan pembenaran dari implementasi arus besar ini tanpa melihat kerapuhan pondasi ekonomi sebuah negara. Namun menghadapi kondisi pada saat ini tidak mudah kita elakan melalui perdagangan bebas misalnya, menuntut sikap kritis berbagai elemen bangsa. Dalam kaca mata teoritis, krisis ekonomi selalu akan membawa krisis multidimensi di bidang ekologi, kebudayaan, norma, stabilitas politik dan kemajemukan bangsa.

Eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkonrol selalu menyisakan kerusakan ekosistem yang bedampak pada ketidakseimbangan alam. Sebuah kondisi memilukan manakala sebuah negeri ini kaya SDA, namun tetap saja miskin. Ketidakmampuan mengelola sebenarnya lebih pada support nyata dari upaya yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengembalikan hasil kekayaan tersebut kepada masyarkat untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Bukan kemakmuran hanya untuk segelintir orang saja! Pengembangan usaha perkebunan monokultur skala besar secara massif tanpa memperhatikan keberadaan Hutan-Tanah-Air yang merupakan sumber hidup dan kehidupan masyarakat lokal telah melahirkan konseskuensi logis. Konflik, intimidasi dan perampasan tanah serta hilangnya “apotik dan supermarket” masyarakat lokal karena digarap melalui pembukaan Hutan-Tanah-Air skala besar adalah bentuk tindakan yang telah berhasil melukai hati maupun perasaan rakyat kecil.

Krisis norma juga menjadi perhatian yang sangat serius. Padahal sebelumnya, masyarakat lokal telah mempunyai konsensus kearifan lokalnya masing-masing. Menguatnya gerakan-gerakan kedaerahan sebagai wujud dari protes ketidakadilan yang mereka alami, hendaknya tidak menceraiberaikan makna dari semangat kebersamaan dan persatuan didalam keberagaman dalam bingkai NKRI. Semangat perlawanan rakyat melalui gerakannya hendaknya tidak berujung pada sebuah kondisi disintegrasi bangsa.
Melemahnya mentalitas melalui kesepakatan atau pelaksanaan nilai-nilai moral membuat batas-batas kebaikan dan keburukan yang selama ini terbangun menjadi bias. Oknum tertentu bisa semau mereka mengatasnamakan golongan atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kelompok lain, dan bahkan bisa mengancam integrasi bangsa.

Hal lain yang mewarnai dinamika masyarakat Kalbar khususnya dan Indonesia umumnya adalah fenomena perdagangan perempuan dan anak (trafficking), potensi pelanggaran HAM sebagai akibat dari kebijakan pembangunan dan tindakan aparat dalam berbagai kondisi yang cenderung represif serta kekebasan insan pers yang “dikungkung” oleh sikap repressif oknum tertentu.
Berbagai dinamika yang terjadi kiranya dapat disikapi secara arif dan bijaksana oleh setiap anak negeri ini. Semangat persatuan dan kebersamaan dalam realitas keberagaman harus menjadi panglima di republik. Kebersamaan atas keberagaman mutlak, dan ketidak adilan harus ditegakkan!

Dengan beberapa catatan diatas, melalui forum Rapat Umum Anggota Cabang (RUAC) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia St. Thomas More Cabang Pontianak, sebagai bagian integral negeri ini menyerukan :

1. Mendesak Pemerintah agar menghentikan perluasan areal untuk perkebunan Sawit dan memaksimalkan pengelolaan kebun yang telah ada serta menyelesaikan konflik yang dialami masyarakat.
2. Stop pelanggaran HAM dan Hormati Kekebasan Pers
3. Hentikan pertambangan (liar) dan aktivitas perusakan lingkungan.
4. Mendesak pemerintah untuk mengoptimalkan pembangunan kawasan perbatasan (khususnya di Kal- Bar karena merupakan wajah terdepan Indonesia).
5. Agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan Agenda Transmigrasi di Kal-Bar dan maksimalkan potensi lokal dalam pengelolaan sumber daya alam serta sumber lainnya.
6. Agar pemerintah memperhatikan usaha kecil dan menengah yang ada di Kal-Bar.
7. Tindak tegas pelaku kejahatan perdagangan manusia dan anak (trafficking).
8. Mendesak pemerintah untuk segera mencabut Undang–undang Badan Hukum Pendidikan, serta mewujudkan pendidikan gratis untuk semua.
9. Menolak pembangunan KODAM di Kalimantan Barat (Meminta Pemerintah mengkaji ulang pembangunan Kodam).

Demikian memorandum kemasyarakatan ini kami sampaikan sebagai respon atas berbagai fenomena sosial kemasyarakatan.




Pontianak, 21 Februari 2010
Pro Ecclesia Et Patria


Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)
Santo Thomas More Pontianak



Catatan:
Draf Memorandum Kemasyarakatan ini dirumuskan bersama dalam acara forum resmi Rapat Umum Anggota Cabang (RUAC) PMKRI Pontianak, sebagai sebuah forum strategis dalam mengkaji dan merumuskan berbagai langkah maupun kebijakan internal organisasi, serta sebagai ruang untuk mengkaji dan mengkritisi kondisi sosial kemasyarakatan secara eksternal. Sidang Rapat Umum Anggota Cabang (RUAC) juga menghasilkan terpilihnya Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium PMKRI Pontianak yang baru (Terpilihnya Lidya Natalia Sartono (085245113968) sebagai Ketua Presidium baru menggantikan Hendrikus Adam, Ketua PMKRI Pontianak sebelumnya ).

.

0 Comments: