2007/10/10

GAGASAN

MAHASISWA CERDAS
Oleh:Paulus Florus*

Banyak mahasiswa dan dosen tidak menyadari bahwa tujuan praktis pembelajaran di peguruan tinggi (PT) seharusnya terus berubah sesuai tuntutan kemajuan sosial. Sampai sekarang, PT terus mengusahakan agar tamatannya pintar. Pintar artinya punya keterampilan atau pengetahuan. Untuk apa? Apa lagi kalau bukan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, dengan gaji yang tinggi. Maka para sarjana bergegas mengemas toga untuk menulis lamaran kerja. Mencari pekerjaan adalah kegiatan menjajakan ijazah.

Dunia manusia berubah dengan cepat. Seharusnya PT lebih mencerdaskan agar tamatannya mampu memperoleh kedudukan terhormat di masyarakat, dengan penghasilan yang besar.
Perhatikan, bahwa pekerjaan yang baik berbeda dengan kedudukan sosial yang terhormat; dan gaji yang tinggi tidak sama dengan penghasilan yang besar.
Apakah kita dapat mengharapkan lembaga PT segera mengubah paradigma pembelajarannya? Mungkin ini mimpi yang terlalu panjang. Lembaga pendidikan formal, di manapun di dunia ini, selalu lembam dan konservatif. Walaupun para pakar pendidikan suka bicara tentang perubahan, tetapi mereka sendiri menolak perubahan.

Bagaimana dengan para mahasiswa? Gambaran garis besarnya: 30% mahasiswa bodoh, 60% sedang-sedang dan 10% cerdas. Ini perlu penjelasan singkat. Yang bodoh adalah para mahasiswa yang seluruh waktu belajarnya dipakai untuk menghafal materi kuliah. Mereka tak mau berubah. Mungkin mereka cepat lulus. Tetapi ijazahnya tidak lebih berharga daripada sertifikat penataran Pancasila jaman dulu. Kelompok kedua yang mayoritas adalah para mahasiswa yang sebenarnya punya otak cukup encer, tetapi mudah puas dengan status mereka, dan suka berlama-lama menduduki kursi kuliah. Kalau tamat, mereka cocok untuk pekerjaan-pekerjaan konvensional. Karena mereka memang dapat menjadi pegawai yang baik: patuh, taat, tidak menuntut, rajin, sehingga disukai oleh kaum kapitalis pemilik modal atau pejabat birokrat priyayi. Sedangkan 10% mahasiswa yang cerdas itu sering dianggap pembangkang oleh para dosen. Mereka mempelajari materi kuliah sekedar agar dapat lulus. Waktu selebihnya dipakai untuk mempelajari banyak hal sesuai minatnya. Mereka sadar bahwa dosen hanyalah salah satu sumber belajar dari sekian banyak sumber belajar yang lain. Setelah tamat, mereka lebih suka mengaktualkan diri dengan menciptakan kegiatan sendiri. Lembar ijazah dan gelar sarjana tidak terlalu dipedulikannya.

Perkembangan sosial memang semakin jelas membuktikan bahwa kecerdasan intelektual saja sudah tidak memadai untuk hidup layak. Sudah semakin berjubel tamatan PT yang hanya sekedar jadi ‘kuli’ meskipun mereka mengantongi ijazah dengan nilai tertinggi. Ternyata kecerdasan emosional dan spiritual lebih penting untuk dapat hidup ‘sukses’. Celakanya, PT masih saja mengajak para mahasiswanya mengagung-agungkan intelektualitas.

Ada berita baik. Yaitu, bahwa setiap mahasiswa sesungguhnya cerdas kalau dia mau. Pengelompokan seperti tadi adalah hasil pilihan. Namun apapun pilihan Anda, tetap ada ‘harga’ yang harus dibayar. Untuk jadi mahasiswa cerdas, harganya tentu saja lebih mahal daripada menjadi mahasiswa yang bodoh dan sedang-sedang.

Ini nasehat yang berlaku untuk ketiga kelompok mahasiswa: Cepatlah menamatkan kuliahmu. Untuk itu ketahuilah terlebih dahulu apa kesukaan dan pola pikir dosenmu, lalu ikutilah atau turutilah, maka Anda akan cepat lulus. Setelah tamat, terserah Anda.

*) Aktivis dan Pemerhati masalah sosial
.

0 Comments: