2007/11/13

GAGASAN


“Darah Segar” Perubahan
Oleh M. Zuni Irawan
(Ketua GMNI Kalbar Periode 2006/2008)

Manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, semua siap sedia mati mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap sedia, masak untuk merdeka.

Setelah 9 tahun lebih bergulir, reformasi 21 Mei sepertinya tidak memberikan apa-apa kecuali semakin merajalelanya ketidakpastian hingga Masa transisi peradaban ini sebagai bangsa yang beradabpun semakin menipis. Tingkah laku para elit negeri ini semakin menjadi-jadi dari tingkatan legislatiif, yudikatif dan eksekutif baik di pusat hingga daerah. Dari mentalitas hingga tumpah darah bangsa ini telah digadaikan dalam ekploitasi besar-besaran, hingga menjadikan Negara Indonesia ini masuk dalam jajaran korupsi terbesar dan penghancur hutan terbesar didunia. Inilah potret buram bangsa ini yang terjerembab dalam budaya-budaya yang tidak bertanggungjawab. Semakin bimbangnya kita akan reformasi, kemanakah arah dan gerakan mahasiswa? Hingga beberapa tahun setelah runtuhnya orde baru (walau tidak menghancurkan akarnya), gerakan mahasiswa semakin menjadi sebuah pertanyaan, apakah memang reformasi akhir dari sebuah perjuangan? Meskipun sudah menjadi tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa pada tahun 1998, hal ini ditandai dengan begitu banyak kekecewaan yang didapat rakyat. Maka tak pelak mahasiswa yang mempelopori gerakan perlawanan pada waktu itu mulai mengeliat. Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia kinipun semakin menunjukan bahwa gerakan ini masih cukup massif melakukan pengkritisan terhadap pemerintahan yang ada. Ruh orde baru masih hidup di tubuh para pejabat kita.
Momentum Reformasi ’98 sebenarnya menghasilkan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bergerak kearah pemerintahan yang Pro Rakyat. Keberhasilan proses transisi demokrasi dapat dinilai dengan dua parameter utama: konsolidasi demokrasi dan berjalannya agenda reformasi. Namun hingga sepuluh tahun perjalanan reformasi yang terjadi hanya konsolidasi kaum otoriterians. Sementara agenda refromasi yang tertuang dalam beberapa visi reformasi juga tidak menampakkan perkembangan signifikan. Bahkan warisan orde baru, budaya KKN justru mengalami formalisasi, otonomisasi, dan massalisasi. Kebijakan rezim yang berkuasa jauh dari kerangka mensejahterakan rakyat dengan pencabutan subsidi, penjualan asset negara, melindungi konglomerat hitam, menyuburkan KKN.
Gegap gempita gerakan mahasiswa menurun seolah-olah kehilangan ruhnya, putus asa dan tak tahu kemana arah tujuannya, meski ada letupan dibeberapa daerah namun tak berdaya untuk bertahan. Titik balik perkembangan sejarah reformasi yang terakumulasi dalam bentuk kesenjangan kronis, tanpa disadari telah menyeret generasi ini ke dalam potensi disharmonisasi sosial secara vertikal maupun horizontal. Di tengah kondisi kebangsaan yang sedang berada pada mentalitas titik nol, alih-alih semangat serta jiwa nasionalisme kebangsaan hanya menjadi sebuah legenda masa lalu. Kalimantan Barat sebagai salah satu surga konflik di masa lalu secara objektif telah mengantarkan daerah ini kepada suatu proses pematangan kondisi primordialisme dalam tatanan hubungan sosial kemasyarakatan. Munculnya berbagai tragedi sosial yang semakin eskalatif dalam perkembangan politik Kalimatan Barat, menjadi bukti empirik bagi kita, bahwa betapa kolotnya pemahaman kebangsaan kita sebagai sebuah bangsa, sehingga kita tidak bisa hidup berdampingan secara lebih beradab dan egaliter dalam sebuah komunitas kebangsaan yang universal.

Pemuda Pemegang Hari Kemudian!!!
Dalam situasi dimana sekelompok masyarakat yang hidup dalam ketertinggalan dan ketidakberdayaan sedangkan sekelompok oang lainnya hidup dalam kemewahan dengan menghisap nilai lebih dari orang lain. Sekelompok masyarakat yang tidak berdaya ini merupakan bagain mayoritas dari rakyat Indonesia, sedangkan kelompok lainya yang jumlahnya hanya beberapa orang saja merupakan kelompok minoritas. kenyataan bahwa didunia khususnya di Indonesia ada sebagian manusia yang menderita sedemikian rupa sementara sebagian lainnya menikmati hasil jerih payah orang lain justru dengan cara-cara yang tidak adil. Dari jumlah yang tidak berimbang hingga dari pendapatan yang jauh dari keadilan, Inilah situasi yang kita sebut sebagai “Situasi Penindasan”. Penindasan apapun nama dan alasannya adalah sesuatu yang tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi) yang bersifat mendua, dalam arti terjadi atas kelompok mayoritas dan minoritas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas manusia menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam ‘kebudayaan bisu’ ‘dan ‘Kebudayaan Pasrah’. Konsep Trikle down menjadi idola para politisi kita, mereka menganggap kekayaan yang dimiliki oleh segelintir orang dapat mengalir ke masyarakat mayoritas, justru penumpukan dan kerakusan kekayaan segelintir orang inilah yang menjadi akar masalah sekarang ini. Karena itu pilihan mutlak adalah usaha memanusiakan kembali manusia (humanisasi) yang merupakan satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan. Karena walaupun dehumanisasi merupakan kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan kenyataan ontologis dimasa mendatang, namun ia ‘bukanlah keharusan sejarah”. Keharusan sejarah dimana setiap negara selalu hidup sang penindas dan kaum tertindas. Secara dialektis suatu kenyataan tidaklah harus menjadi suatu keharusan.
Tugas manusia adalah untuk merubahnya agar sesuai dengan dengan apa yang seharusnya, inilah fitrah manusia sejati, selalu think and rethink. Melihat melihat kondisi pendidikan pada khususnya pada sistem perkuliahan yang selama ini yang selalu mendoktrin mahasiswa kepada paradigma kekosongan keadilan, inilah realita negara yang telah merdeka 62 tahun. Pemuda khususnya mahasiswa hidup dalam pabrik yang didesain oleh mesin-mesin untuk diubah menjadi bahan siap pakai untuk pemenuhan kebutuhan kapitalis global. Hampir semua ilmu yang diajarkan adalah ilmu-nya kaum kapitalis yang mana tidak memuat nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Selama 32 tahun hingga sekarang kita dijadikan manusia mesin, yaitu manusia yang dikosongkan dari ideologi-ideologi emansipasi dam kerakyatan, kemudian diisi dengan satu ideologi yaitu pembangunanisme. Manusia kemudian menjadi komponen dari mesin pembangunan yang mana didalamnya berlangsung industrialisasi pikiran, berupa penyeragaaman, standarisasi, dan berbagai pembatasan sikap kritis dan kreatif terhadap manusia.
Proses belajar mengajar sudah jauh dari substansi pendidikan yaitu ”Pendidikan Untuk Pengajaran dan Pembebasan”, Tri dharma Perguruan Tinggi telah jauh dari harapan, ribuan sarjana dilahirkan tiap tahunnya dari kampus-kampus, sedangkan di tempat lain ribuan bayi yang kehilangan harapan untuk hidup karena ulah para elit politik dan para intelektual kampus. Tiga pilar Kapitalisme yaitu hedonis, konsumerism, dan individualis melekat di tiap sumsum tulang mahasiswa kita, inilah realita sosial sekarang ini. Dari kafe ke kafe dipenuhi oleh mahasiswa dengan obrolan gaya hidup yang glamour tidak ada diskusi yang ideologis yang terucap dari mereka. Di kalimantan Barat Khususnya, Pemuda sekarang lupa akan sejarah daerah ini, yang penuh dengan darah perjuangan seperti gerakan kaum muda dalam perlawanan menolak daerah istimewa buatan Kolonial Belanda. Semangat perlawanan terhadap penindasan yang telah menjadi sejarah masyarakat Kalbar, merupakan salah satu nilai yang harus tetap kita jaga untuk mengawal kemerdekaan bangsa ini dari jajahan pejabat lokal maupun jajahan asing. Bahwa 62 tahun sesudah diproklamasikannya kemerdekaan negara kita, sekarang ini masih terdapat 13 juta anak-anak yang kelaparan, dan lebih dari 100 juta orang masih miskin, serta sekitar 40 juta orang tidak punya pekerjaan tetap, adalah suatu hal yang keterlaluan !!! Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kalau kita menyuarakan kemarahan dan menghujat berbagai politik pemerintahan yang menyebabkan lahirnya masalah-masalah besar yang menyengsarakan begitu banyak orang, dan dalam jangka waktu lama pula.
Pemuda adalah agen penting dalam perubahan. Ini bukan saja karena mereka muda dan kreatif. Lebih dari itu, pemuda adalah segmen yang relatif masih steril dari politik praktis. Karenanya, dialog dan kerja sama yang inklusif dan rasional di kalangan mereka adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk merubah masa depan. Tidak ada pilihan lain, peran pemuda sebagai generasi masa depan untuk menggantikan para pejabat yang korup sekarang ini haruslah selalu menanamkan nilai-nilai keadilan, pro rakyat serta semangat persatuan, Jika pemuda hari ini tetap pada pilihan pragmatis tentu masa depan bangsa ini gelap. Kehadiran organisasi-organisasi kepemudaan sangat dibutuhkan untuk melahirkan kader-kader bangsa, untuk mengganyang para politisi yang selalu menghantui rakyat!! Kalau tidak progresif, tidak maju, tidak activiteit, kita akan hancur lebur di dalam himpitannya bangsa-bangsa yang sekarang merebut hidup, yang sekarang sudah nyata dunia ini laksana kancah perjuangan. Bersama-sama kita kobarkan kembali api perlawanan serta semangat kebangsaan sampai kepada titik kejayaannya, sebagai salah satu syarat utama kebesaran Indonesia.


.

0 Comments: